Selasa, 07 September 2010

Atheisme Dalam Pandangan Sigmund Freud


Sigmund Freud, bapak psikoanalisa, berpendapat bahwa agama merupakan gejala neurotis serta pelarian manusia dari kenyataan. Karena ketakutannya berhadapan dengan realitas beserta konsekuensi dan resiko-resikonya, manusia mencari kedamaian dengan menciptakan Tuhan, yang sebenarnya tidak nyata dan tidak kelihatan. Dengan penuh rasa ngeri, manusia tunduk terhadap resiko-resiko dunia, dan kemudian menyembah Tuhan sebagai pelariannya. Sikap ini adalah sikap seorang neurotik, sekaligus seseorang yang tidak dewasa (infantil). Agama adalah lambang dari sikap neurotis dan infantil dari manusia. Jika manusia hendak sungguh-sungguh mampu menghadapi tantangan realitas nyata, maka ia harus membebaskan dirinya dari neurotis kolektif tersebut. Menurut Freud, agama membuat manusia percaya akan eksistensi dewa-dewa, sehingga akhirnya membuat mereka menjadi lemah. “Dewa-dewa”, menurut Casper dalam konteks penulisan tentang Freud, “berfungsi mengatasi ancaman alam, membuat orang menerima kekejaman nasibnya,…”[3] Manusia berharap pada dewa-dewa untuk melindungi dirinya dari kerasnya kehidupan. Faktanya, dewa-dewa tidak melindungi manusia, tetapi manusia tetap ingin dilindungi oleh mereka. Dalam hal ini, manusia telah berilusi, yakni manusia yakin bahwa suatu keinginan akan terwujud, bukan karena adanya kondisi-kondisi faktual yang mendukung terwujudnya keinginan tersebut, tetapi karena ia hanya benar-benar menginginkannya. Maka itu, ilusi akan dewa-dewa tersebut disebut sebagai infantil, karena berharap bahwa suatu keinginan akan sungguh-sungguh terwujud melulu berdasarkan keinginan tersebut tanpa acuan pada fakta-fakta konkret adalah tepat seperti karakter anak kecil, yang bersifat infantil, atau tidak dewasa. Dengan kata lain, agama membuat manusia memandang dirinya seperti anak kecil, dan bertingkah laku juga seperti layaknya anak kecil. Dengan agama, manusia memandang segala persoalan hidupnya dengan mimpi serta keinginan seperti anak kecil, karena melulu bersandar pada dewa atau Tuhannya. Oleh karena itu, agama membuat manusia menjadi lemah. Manusia menjadi pasif, dan mengharapkan keselamatan dari Tuhannya, dan tidak pernah berjuang sendiri mewujudkan keinginannya itu. Potensi maupun kekuatannya pun tidak akan pernah berkembang. Walaupun begitu, agama memiliki ikatan yang sangat kuat terhadap manusia, terutama karena agama merupakan suatu bentuk neurotis kolektif. Kata kolektif disini bukan berarti bahwa setiap orang beragama itu sakit jiwa, tetapi seseorang biasanya beragama, karena ia dididik di dalam masyarakat yang sudah mempunyai agama. Jadi, ia beragama, karena semua orang di masyarakatnya beragama, seperti juga ia mempercayai semua hal yang menjadi pandangan hidup masyarakatnya. Gejala sosial agama ini merupakan tanda sebuah neurotis, yakni neurotis yang dialami oleh beberapa orang. Di dalamnya, orang melakukan berbagai perintah dan ajaran Tuhan melalui agama tidak atas dasar pertimbangan rasional, tetapi karena rasa takut akan hukuman Tuhan. Pada titik ini, Tuhan dianggap sebagai “ayah-super”, yang ditakuti sekaligus dicintai. Yang tampak jelas disini adalah ketakutan neurotik, jika hukum Tuhan dilanggar. Orang yang beragama takut berbuat dosa, karena jika ia berdosa, maka ia akan masuk neraka. Orang beragama tidak dapat sungguh menikmati sesuatu, karena takut akan dosa. Agama membuat manusia tidak mampu, dan tidak mau, mengembangkan dirinya, serta terjebak di dalam ilusi yang bersifat infantil. 
(sumber rezaantonius.multiply.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berhasilkah Presiden SBY memimpin negeri ini?