Sabtu, 25 September 2010

Konsep Filsafat Nietzsche

Filsafat Nietzsche terutama ditulis dalam bentuk aforisme dan tidak dilakukan dengan gaya metodis. Sikapnya secara umum tetap saja konsisten, tetapi pemikirannya secara terus menerus berkembang ke berbagai arah. Hal ini berarti bahwa Nietzsche seringkali tampak bertentangan dengan dirinya sendiri, atau membiarkan dirinya terbuka terhadap berbagai interpretasi yg saling bertentangan. Filsafatnya adalah sebuah filsafat yg memiliki wawasan yg berdaya tembus, dan bukan suatu sistem. Namun demikian, sejumlah kata dan konsep tertentu selalu muncul berulang-ulang di dalam karyanya. Oleh karena itu kita dapat mendeteksi adanya suatu sistem di dalam karyanya.

Will to Power

Ini merupakan konsep terpenting di dalam filsafat Nietzsche. Ia mengembangkan konsep ini dari dua sumber utama: Schopenhauer dan kehidupan Yunani kuno. Schopenhauer mengadopsinya dari gagasan timur dan berkesimpulan bahwa bahwa alam semesta dikendalikan oleh suatu kehendak buta. Nietzsche mengenali adanya kekuatan di dalam gagasan ini, dan menerapkannya dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Ketika Nietzsche sedang melakukan studi terhadap gagasan2 Yunani kuno, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yg menjadi pendorong di dalam peradaban mereka semata-mata adalah bagaimana mencari kekuasaan, dan bukan untuk mencari sesuatu yg lebih berguna atau yg memberikan manfaat segera.
Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh suatu Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power). Semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak ini. Seringkali kehendak untuk berkuasa ini di ubah dari ekspresinya yg semula, atau bahkan dialihkan ke bentuk lain, tapi tidak dapat dihindari semua itu selalu bermata air di tempat yg sama. Ajaran Kristen, Islam, Yahudi beragama mengkhotbahkan sesuatu yg tampaknya sangat bertentangan dengan Will to Power, melalui gagasan-gagasannya akan kerendahan hati, cinta antar saudara, dan kewelas asian. Tetapi, fakta yg sebenarnya memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran yg cerdik dari Will to Power. Ajaran Kristiani sendiri dan juga Islam, tentu saja adalah suatu agama yg dilahirkan di tengah2 perbudakan di zaman Romawi, dan sama sekali tak bisa membebaskan dirinya dari mentalitas budak. Ini tentu saja adalah suatu bentuk Will to Power dari para budak, dan bukan dari mereka yg memiliki kuasa.
Will to Power yg dicanangkan oleh Nietzsche terbukti merupakan suatu alat yg ampuh ketika di gunakan oleh Nietzsche untuk menganalisis motif umat manusia. Tindakan2 yg sebelumnya tampak mulia atau terhormat, kini tampak sebagai sesuatu yg dekaden bahkan memuakkan.
Namun demikian, Nietzsche gagal untuk memberikan jawaban bagi dua hal penting. Jika Will to Power merupakan satu2nya ukuran, lalu bagaimana halnya dengan tindakan2 yg sejak semula memang sama sekali tidak memiliki Will to Power di dalamnya? Ambilah sebagai contohnya kehidupan seorang santo atau seorang filsuf pertapa seperti Spinoza (filsuf yg dikagumi Nietzsche sendiri). Orang2 ini jelas2 berkeinginan untuk meredam “kehendak untuk berkuasa” dalam diri mereka. Mengatakan bahwa santo dan filsuf pertapa itu menerapkan Will to Power atas diri mereka sendiri jelas2 akan memperlakukan konsep ini sedemikian rupa luwesnya, hingga hampir bisa dikatakan bahwa konsep ini sama sekali tidak bermakna. Yg kedua, konsep Will to Power ternyata adalah sesuatu yg bersifat sirkular: apabila upaya kita untuk memahami segala sesuatunya di alam semesta ini adalah sebuah upaya yg diilhami oleh “kehendak untuk berkuasa”, maka tentunya konsep “kehendak untuk berkuasa” itu sendiri diilhami oleh upaya Nietzsche untuk memahami segala sesuatunya.
Lepas dari semua itu, sebagai kata akhir dari konsep yg memiliki daya tembus luar biasa tapi berbahaya ini, konsep itu seharusnya dikembalikan pada pernyataan Nietzsche sendiri, “Sikap mengidam-idamkan kekuasaan telah mengalami berbagai perubahan selama berabad-abad, tetapi sumbernya tetap saja kawah yg sama.. Sesuatu yg pada zaman dahulu dilakukan orang “demi Tuhan”, sekarang ini kita lakukan “demi uang”.. Inilah yg saat ini menciptakan kepuasan terutama atas kekuasaan.”

sumber rezaantonius.multiply.com

Selasa, 21 September 2010

Kerakusan

“Silahkan sebar berita buruk tentang saya. Saya tidak peduli selama saya masih tetap kaya”, begitulah tanggapan seorang direktur perusahaan asuransi besar asal Amerika Serikat, ketika dikonfrontasi soal pelanggaran yang dilakukan perusahaannya. Ini dialog di dalam salah satu film yang diputar di stasiun televisi asing. Tentu saja dialog ini fiksi. Akan tetapi cara berpikir yang ada di belakang sang direktur tersebut identik dengan cara berpikir para konglomerat di seluruh dunia; tidak peduli dengan dunia, selama ia masih tetap kaya.

Saya menduga sang direktur tidak sendirian. Ratusan ribu direktur lainnya dari seluruh dunia hidup dan bertindak dengan pola berpikir serupa. Kerakusan adalah sifat yang inheren di dalam diri manusia. Sifat itu tidak akan berkembang, selama struktur sosial tidak mendukung perkembangannya.

Kapitalisme dalam segala bentuknya adalah sistem sosial yang secara langsung mendorong dan melestarikan kerakusan, baik di level individu maupun sosial. Kapitalisme adalah pelembagaan kerakusan. Yang lenyap di dalam kapitalisme adalah relasi yang manusiawi dan solidaritas sebagai komunitas. Relasi digantikan menjadi transaksi.

Seberapapun kita mengutuknya sulit untuk memikirkan dunia tanpa kapitalisme sekarang ini. Kapitalisme sebagai sistem yang mendorong dan melestarikan penumpukan modal sebesar-besarnya sudah berurat akar pada peradaban dunia. Yang bisa dilakukan adalah menggoyang pengandaian-pengandaian yang menjadi dasar dari sistem kapitalisme, yakni tentang apa artinya menjadi komunitas. Komunitas dibentuk melalui solidaritas, dan solidaritas dibentuk di dalam upaya tanpa lelah untuk melampaui kerakusan.

Esensi Kerakusan

Kerakusan itu inheren di dalam diri manusia. Ia tertanam jauh di dalam kemanusiaan setiap orang, dan menunggu untuk keluar serta merangsek yang ada di sekitarnya.  Ada dua kondisi hakiki manusia yang menjadi rahim bagi kerakusan, yakni hasrat untuk berkuasa dan rasa kurang yang tertanam di dalam diri setiap orang. Aku rakus maka aku ada, itulah diktum yang menjadi dasar dari sistem kapitalisme.

Lebih dari seratus tahun lalu, Nietzsche mengingatkan kita, bahwa peradaban didorong oleh suatu kekuatan purba yang tersembunyi, yakni kehendak untuk berkuasa. Moralitas dan agama adalah simbol luhur yang menutupi fakta mengerikan di baliknya, yakni kehendak untuk berkuasa. Atas nama moralitas orang menguasai dan menindas. Atas nama agama perang dan penghancuran dilakukan.

Sains dan teknologi adalah hasil ciptaan manusia yang bertujuan untuk menguasai dan mengontrol alam demi kepentingannya sendiri. Retorika kebaikan yang ada di dalam penciptaan dan penerapan teknologi sebenarnya menyembunyikan fakta penghancuran alam yang berkelanjutan. Sains dan teknologi adalah simbol kerakusan manusia yang terselubung, namun sangat ganas. Kedokteran adalah simbol kehendak manusia untuk menguasai kematian.

Kehendak untuk berkuasa tidak hanya tertanam sebagai kekuatan purba pembentuk peradaban, tetapi juga di dalam diri setiap individu. Kehendak untuk berkuasa inilah yang menjadi kondisi-kondisi yang melahirkan tindak rakus di dalam aktivitas sosial manusia. Kehendak untuk berkuasa itu membutakan. Ia membuat manusia melupakan nilai-nilai yang membuat kehidupan itu berarti.

Seorang filsuf asal Perancis, Jacques Lacan, pernah berpendapat, bahwa manusia adalah subyek yang selalu merasa kurang (lack). Jauh di dalam dirinya, manusia terus mencari tanpa pernah sungguh menemukan. Hidupnya bagaikan perjalanan yang tak mengenal kata akhir. Fakta ini mendorong orang untuk menaklukkan, dan menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya kerakusan.

Kapitalisme hidup dan berkembang di dalam pola berpikir penguasaan dan adanya rasa kurang yang tertanam di dalam diri manusia. Kehendak untuk berkuasa dan rasa kurang tersebut menciptakan kecemasan yang sangat mendasar, yakni kecemasan tentang keberadaan dirinya. Dengan pesona materialnya kapitalisme berusaha menenangkan kecemasan tersebut, walaupun selalu jatuh di dalam kegagalan. Inilah awal lahirnya berbagai bentuk kelainan jiwa di dalam masyarakat modern. Kegilaan (madness) lahir dan bertumbuh bersama dengan kapitalisme.

Melampaui Kerakusan

Sejuta kebijakan tidak akan bisa mengubah kerakusan yang bercokol pada diri individu dan masyarakat. Yang sungguh diperlukan adalah perubahan persepsi tentang dunia. Konsep aku (I) tidak bisa lagi dipandang sebagai aku yang terpisah dari kamu dan kalian, melainkan aku sebagai bagian dari kami. Konsep aku adalah konsep sesat yang segera harus direvisi.

Pada level kolektif konsep kita (we) harus diubah menjadi kami (us). Kita itu mengikat yang sama, dan memisahkan yang berbeda. Kekitaan adalah awal dari prasangka, dan prasangka adalah pemicu konflik yang paling efektif. Sementara kami itu ingin memeluk semua. Kami tidak memisahkan melainkan ingin menyatukan diri secara harmonis dengan yang berbeda.

Kekamian lahir dari kesadaran penuh, bahwa manusia saling membutuhkan, lepas dari segala perbedaan yang sudah ada, maupun yang akan ada. Kerakusan mengancam kekamian maka harus dilenyapkan. Masyarakat yang hidup dengan paradigma kekitaan perlahan namun pasti akan lenyap ditelan perubahan jaman. Aku rakus maka aku ada adalah diktum yang mengarah pada perpecahan dan kehancuran. Diktum baru yang menunggu untuk lahir adalah; aku menjadi kami, maka aku ada. Kami ada. ***
 
sumber rezaantonius.multiply.com

Jumat, 17 September 2010

Atheisme Dalam Pandangan Fuerbach

Ateisme Feuerbach dimulai dengan kritiknya terhadap pemikiran Hegel. Di dalam filsafat sejarahnya, Hegel berpendapat bahwa manusia, dengan segala kesadaran serta kebebasannya, sebenarnya merupakan aktualisasi dari roh absolut. “Kita” demikian tulis Hegel, “seakan bertindak seturut kebebasan, tetapi dibelakangnya, roh absolut merealisasikan dirinya.”[1] Kesimpulannya, roh absolut adalah subyek sejarah yang sesungguhnya. Kebebasan dan kesadaran manusia hanyalah realisasi lebih jauh dari roh absolut tersebut. Tesis inilah yang menjadi obyek utama kritik Feuerbach. Hegel, menurutnya, telah memutarbalikan realitas. Manusia seakan-akan hanyalah robot, dan roh absolut adalah subyek sejarah sesungguhnya. Padahal, hemat Feuerbach, manusia adalah realitas konkret yang sama sekali tidak bisa dibantah keberadaannya. Yang ada adalah manusia, dan Allah merupakan buah dari pikiran manusia itu sendiri. Ia berpendapat bahwa refleksi filsafat haruslah bertolak dari satu-satu realitas yang tidak lagi dapat dipungkiri, yakni realitas inderawi, terutama realitas inderawi yang langsung mengungkapkan dirinya kepada kita. Pengandaian inilah yang menjadi titik tolak atheisme Feuerbach berikutnya. Allah tidaklah menciptakan manusia, tetapi sebaliknya, Allah adalah proyeksi dari cita-cita dan mimpi-mimpi manusia. Agama adalah sebuah proyeksi. Surga, neraka, agama, Allah adalah gambar-gambar yang tidak memiliki status ontologis pada dirinya sendiri, melainkan proyeksi manusia tentang hakekat dan mimpi-mimpinya sendiri. Semua itu adalah proyeksi manusia tentang hakekat keberadaannya. Agama adalah proyeksi dari hakekat manusia. Akan tetapi, manusia kemudian lupa akan fakta ini, dan justru menyembahnya seolah-olah semua benda itu memiliki status ontologisnya sendiri. Dengan kata lain, menurut Feuerbach, agama adalah hasil dari penyembahan manusia terhadap ciptaanya sendiri, yang tidak lagi disadari sebagai ciptaannya. Manusia kemudian takut dan merasa wajib untuk menyembah serta menghormati Allah ciptaannya itu. Manusia, dengan demikian, menolak hakekatnya sendiri. Dalam arti ini, agama adalah lambang keterasingan manusia dari diri dan hakekatnya sendiri.  “.. Agama Kristiani..” demikian tulis Feuerbach, “adalah sikap manusia terhadap dirinya sendiri, … terhadap hakekatnya sendiri… hakekat Allah adalah hakekat manusia…”[2] Dalam arti ini, agama sebenarnya memiliki nilai positif, karena ia merupakan proyeksi dari hakekat manusia. Akan tetapi, sayangnya, manusia lupa bahwa agama itu sebenarnya adalah proyeksi dari hakekatnya sendiri, dan kemudian menyembahnya. Ia pun tidak lagi berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan hakekatnya tersebut, tetapi takut padanya. Manusia tidak lagi mewujudkan hakekatnya, melainkan menyembah proyeksi dari hakekatnya tersebut, dan bersikap pasif. Oleh karena itu, agama seringkali membuat orang terasing dari dirinya sendiri, serta menjadi tidak toleran dan fanatik. Feuerbach sendiri berpendapat bahwa kepercayaan kepada Allah, yang terwujud dalam agama, dapat menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, kedewasaan, dan kebebasan manusia. Untuk itu, manusia hanya dapat mengakhiri keterasingan yang dialaminya dengan menghilangkan agama. Manusia harus menolak kepercayaan terhadap Allah yang mahakuasa, mahabaik, mahaadil, sehingga ia sendiri bisa menjadi kuasa, baik, dan adil. Dengan demikian, manusia harus meniadakan agama, supaya ia sendiri dapat mewujudkan hakekat dan potensi-potensinya.
(sumber rezaantonius.multiply.com)

Kamis, 09 September 2010

Atheisme Dalam Pandangan Albert Camus


Albert Camus menawarkan pemikiran tentang Tuhan dan agama dengan cara yang agak berbeda dari kedua filsuf yang sudah dijabarkan sebelumnya. Ia berpendapat bahwa hakekat dunia ini adalah absurditasnya. Artinya, dunia ini, beserta semua mahluk hidup di dalamnya, termasuk manusia, tidaklah masuk akal. Manusia merencanakan segalanya, tetapi ia harus mati, ketika rencananya tersebut belum terlesaikan. Penderitaan yang dialami manusia pun sungguh absurd, jika dibandingkan keindahan serta keluruhan dunia ini sebagai keseluruhan. Pengalaman manusia yang paling mendasar adalah pengalaman akan penderitaan. Banyak dari penderitaan tersebut disebabkan oleh sikap manusia sendiri. Kesadaran akan penderitaan membuat ia sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan ini adalah absurd. Akan tetapi, alih-alih melarikan diri, ia harus menghadapi kehidupan yang absurd tersebut dengan berjiwa besar, yakni dengan sikap heroik. Dengan kata lain, manusia harus menghadapi serta melawan dengan optimis absurditas hidup tersebut. Dalam konteks atheisme, absuditas hidup tersebut merupakan tanda bahwa Allah itu tidak ada. Jika Allah sungguh ada, maka tidak mungkin hidup ini absurd. Jika Allah ada, maka mesti ada penjelasan di balik semua penderitaan manusia, harusnya ada rasionalitas di baik irasionalitas yang dialami manusia. Padahal, penjelasan dan rasionalitas tersebut, hemat Camus, tidaklah ada. Oleh karena itu, tindak beriman kepada Allah sesungguhnya hanyalah merupakan pelarian dari penderitaan dan absurditas hidup saja. Dengan begitu, atheisme Camus merupakan akibat dari problem penderitaan dan kejahatan yang ada di dalam dunia.[4] Penderitaan yang dialami manusia adalah tanda bahwa hidup ini absurd, tidak masuk akal, serta penderitaan tersebut seringkali juga tidak dapat direkonsiliasikan ke dalam hidup manusia, dan justru menghancurkan manusia. Adanya penderitaan yang membuat hidup ini absurd jelas merupakan tanda definitif bahwa Allah itu tidak ada, bahwa tidak mungkin ada Allah yang menciptakan dan memperhatikan kita. Melihat penderitaan sebagai suatu rencana Allah merupakan suatu hal yang tidak dapat dianggap rasional, menurut Camus. Pada hemat saya, dan banyak penulis buku filsafat ketuhanan, problem ini adalah problem paling menantang di dalam atheisme. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan memandang penderitaan serta eksistensi Allah secara berbeda, di mana dalam penderitaan, manusia justru membuka dimensi terhadap yang transenden, ia membuka pintu bagi transendensi. Kendati mengalami penderitaan, manusia diharapkan, meskipun tidak selalu, tetap memiliki kepercayaan dan harapan kepada Allah. Eksistensi Allah tidaklah dapat dipahami sebagai entitas yang mengintervensi kehidupan manusia dan serta-merta mencegahnya mengalami penderitaan, melainkan sebagai sebuah kekuatan dengan kemahakuasaan dan belaskasihNya untuk membantu manusia memahami dan mengintegrasikan penderitaan dalam hidup ke dalam keseluruhan eksistensinya. Jawaban ini tentunya bersifat minimalis, tetapi bisa ditempatkan sebagai salah satu alternatif refleksi di dalam problematika Allah dan penderitaan. 

(sumber rezaantonius.multiply.com)

Selasa, 07 September 2010

Atheisme Dalam Pandangan Sigmund Freud


Sigmund Freud, bapak psikoanalisa, berpendapat bahwa agama merupakan gejala neurotis serta pelarian manusia dari kenyataan. Karena ketakutannya berhadapan dengan realitas beserta konsekuensi dan resiko-resikonya, manusia mencari kedamaian dengan menciptakan Tuhan, yang sebenarnya tidak nyata dan tidak kelihatan. Dengan penuh rasa ngeri, manusia tunduk terhadap resiko-resiko dunia, dan kemudian menyembah Tuhan sebagai pelariannya. Sikap ini adalah sikap seorang neurotik, sekaligus seseorang yang tidak dewasa (infantil). Agama adalah lambang dari sikap neurotis dan infantil dari manusia. Jika manusia hendak sungguh-sungguh mampu menghadapi tantangan realitas nyata, maka ia harus membebaskan dirinya dari neurotis kolektif tersebut. Menurut Freud, agama membuat manusia percaya akan eksistensi dewa-dewa, sehingga akhirnya membuat mereka menjadi lemah. “Dewa-dewa”, menurut Casper dalam konteks penulisan tentang Freud, “berfungsi mengatasi ancaman alam, membuat orang menerima kekejaman nasibnya,…”[3] Manusia berharap pada dewa-dewa untuk melindungi dirinya dari kerasnya kehidupan. Faktanya, dewa-dewa tidak melindungi manusia, tetapi manusia tetap ingin dilindungi oleh mereka. Dalam hal ini, manusia telah berilusi, yakni manusia yakin bahwa suatu keinginan akan terwujud, bukan karena adanya kondisi-kondisi faktual yang mendukung terwujudnya keinginan tersebut, tetapi karena ia hanya benar-benar menginginkannya. Maka itu, ilusi akan dewa-dewa tersebut disebut sebagai infantil, karena berharap bahwa suatu keinginan akan sungguh-sungguh terwujud melulu berdasarkan keinginan tersebut tanpa acuan pada fakta-fakta konkret adalah tepat seperti karakter anak kecil, yang bersifat infantil, atau tidak dewasa. Dengan kata lain, agama membuat manusia memandang dirinya seperti anak kecil, dan bertingkah laku juga seperti layaknya anak kecil. Dengan agama, manusia memandang segala persoalan hidupnya dengan mimpi serta keinginan seperti anak kecil, karena melulu bersandar pada dewa atau Tuhannya. Oleh karena itu, agama membuat manusia menjadi lemah. Manusia menjadi pasif, dan mengharapkan keselamatan dari Tuhannya, dan tidak pernah berjuang sendiri mewujudkan keinginannya itu. Potensi maupun kekuatannya pun tidak akan pernah berkembang. Walaupun begitu, agama memiliki ikatan yang sangat kuat terhadap manusia, terutama karena agama merupakan suatu bentuk neurotis kolektif. Kata kolektif disini bukan berarti bahwa setiap orang beragama itu sakit jiwa, tetapi seseorang biasanya beragama, karena ia dididik di dalam masyarakat yang sudah mempunyai agama. Jadi, ia beragama, karena semua orang di masyarakatnya beragama, seperti juga ia mempercayai semua hal yang menjadi pandangan hidup masyarakatnya. Gejala sosial agama ini merupakan tanda sebuah neurotis, yakni neurotis yang dialami oleh beberapa orang. Di dalamnya, orang melakukan berbagai perintah dan ajaran Tuhan melalui agama tidak atas dasar pertimbangan rasional, tetapi karena rasa takut akan hukuman Tuhan. Pada titik ini, Tuhan dianggap sebagai “ayah-super”, yang ditakuti sekaligus dicintai. Yang tampak jelas disini adalah ketakutan neurotik, jika hukum Tuhan dilanggar. Orang yang beragama takut berbuat dosa, karena jika ia berdosa, maka ia akan masuk neraka. Orang beragama tidak dapat sungguh menikmati sesuatu, karena takut akan dosa. Agama membuat manusia tidak mampu, dan tidak mau, mengembangkan dirinya, serta terjebak di dalam ilusi yang bersifat infantil. 
(sumber rezaantonius.multiply.com)

Minggu, 05 September 2010

Manusia Dalam Pandangan Marx


Pertama kali buku ini saya baca 3 tahun yang lalu. Entah sudah berapa kali saya baca ulang, karena saya yang kurang cerdas dalam membaca, atau memang isi buku ini agak sulit dipahami. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro dari judul aslinya Marx’s Concept Of Man.
Saya suka dengan konsep pemikiran Marx yang mengedepankan filsafat yang mempresentasikan sebuah argumentasi berbentuk protes untuk menentang alienasi, hilangnya jati diri dan perubahan kearah kebendaan pada manusia. Dalam Economic and Philosopichal Manuscrips yang disertakan dalam buku ini semakin mengungkapkan filsafat Marx tentang eksistensi manusia individual yang nyata, hingga melebar secara obyektif keterkaitannya dari kelahiran, kekuasaan, uang sampai realitas cinta.
Banyak kalangan yang tidak setuju dan memandang filsafat Marx’s yang konrtoversial dan tidak sesuai bahkan berseberangan dan berprasangka buruk dengan beberapa filsuf besar karena pemikiran universal tentang konsep teori ekonomi sosialisme barat pada waktu itu yang menimbulkan distorsi negatif sampai fitnah terhadap pemikiran-pemikiran Marx. Tapi dalam buku ini lebih banyak dibahas tentang pemikiran-pemikiran filosofis dan histories Marx dan hanya sedikit menyinggung masalah yang lebih “ke dalam”.
Konsep pemikiran Marx adalah mengembalikan kita (: qua manusia) adalah entitas yang dapat dikenali dan diketahui, mendefinisikan manusia sebagai manusia, bukan hanya secara biologis, anatomis dan pisik tetapi juga secara psikologis. Berakar dari pemikiran Hegel dengan konsep produktifitasnya dalam efek pasif (hasrat) dan efek aktif (aksi), pemikiran Marx berkembang pada berbagai macam keobyektifitas, dari perilaku mencipta diri dalam kebebasan dan kemerdekaan yang memposisikan keberpihakan Marx pada pemberantasan kemiskinan dan menentang sifat konsumtif sebagai tujuan tertinggi, individualitas perempuan, buruh, dan berbagai kritik Marx tentang kapitalisme. Beberapa dari Bab yang saya suka adalah konsep Marx tentang Sosialisme yang berasal dari konsepnya tentang manusia (Hal. 77). Penjelasan yang menurut saya agak rasional meski barangkali memang bertentangan dengan berbagai ajaran agama-agama yang ada didunia. Tetapi tidak bisa saya pungkiri jika pemikiran dan konsep Marx memang luar biasa bila diterapkan dalam sebuah system pemahaman yang benar dan kematangan berpikir yang lebih bijaksana dan progresif. Dari berbagai sudut bahasan yang bisa saya mengerti, saya setuju jika Karl Marx adalah seorang pemikir besar yang humanis.
Disertai dengan Terjemahan Manuskrip Tentang Ekonomi dan Filsafat (Economic and Philosopical Manuscript) yang ditulis Marx pada bulan April – Agustus 1844, yang memuat banyak konsep dasar pemikirannya, juga beberapa catatan ringan dari Marxis maupun non-Marxis, juga tentang keluarga bahagia Marx yang diceritakan dari rekan maupun anaknya.
Mungkin agak sulit dipahami pembahasan dalam buku ini, saya kira karena keterbatasan bahasa penterjemahan kedalam bahasa Indonesia. Maka masih sering baca ulang sampai sekarang untuk lebih bisa menyerap dan mengerti apa yang dikandung dalam konsep Marx tentang manusia. Dari pandangan sebelah mata saya terhadap Marxisme dahulu, akhirnya saya mendapat pemahaman dan mendapat lebih banyak penjelasan pada penyimpangan-penyimpangan ajaran dan konsep pemikiran Marx dari buku ini.

(sumber : rezaantonius.multiply.com/)

Kamis, 02 September 2010

Filsafat Sebagai Pandangan Hidup

filsafat adalah pandangan hidup

Masalah negeri ini tak kunjung usai, mulai dari persoalan sosial, korupsi, pelanggaran hukum, rendah diri terhadap bangsa lain, penyalahgunaan jabatan, sampai pada maraknya penculikan anak-anak. Rakyatnya masih bergumul dengan masalah pribadi, mulai dari krisis ekonomi sampai krisis identitas.

Beragam masalah diatas kerap dikaji dalam ruang-ruang diskusi, seminar dan simposium tapi semua analisis masalah belum membuahkan hasil, seolah ada yang hilang dalam mengobservasi masalah tersebut. Yakni cara memaknai kehidupan. Problematika bangsa terlalu rumit untuk diselesaikan dengan pendekatan satu dimensi. Akar masalahnya bukan ketiadaan uang. Bangsa kita punya banyak sekali asset yang bisa dimanfaatkan.

Persoalan pokoknya adalah cara berpikir, dan cara memaknai hidup. Masalah material di Indonesia, mulai dari kemiskinan sampai korupsi, bisa lenyap dengan mengubah persepsi warganya tentang hidup. Filsafat sebagai landasan hidup bisa memberikan sumbangan besar dalam hal ini.

Filsafat

Filsafat bukan sesuatu yang abstrak. Filsafat berangkat dari pergulatan hidup manusia di dunia. Berangkat dari realitas kehidupan yag kemudian merefleksi pemikiran untuk melakukan perubahan-perubahan untuk menjadi lebih baik.

Filsafat juga bukan soal ateisme. Filsafat mengajak orang condong untuk memahami imannya secara tepat dan mendalam. Untuk itu kedangkalan hidup beriman harus dibongkar. Filsafat bisa menjadi godam yang efektif untuk tujuan itu.

Filsafat tidak hadir untuk menyesatkan. Filsafat mengajak orang untuk berpikir secara mendalam tentang hidup mereka. Hasil dari filsafat adalah cara berpikir yang mendalam dan tepat tentang kehidupan. Filsafat mencerahkan orang melalui pikiran dan tindakan, apapun profesi yang digelutinya.

Filsafat juga bukan hanya milik orang Eropa. Filsafat adalah dorongan dasar manusia untuk memahami dunia secara rasional dan sistematik. Filsafat hadir di sanubari setiap orang tanpa kecuali. Filsafat membuat hidup menjadi menggairahkan, bagaikan petualangan intelektual yang membahagiakan.

Pandangan Hidup

Filsafat tidak melulu soal berkutat dengan buku-buku sulit. Filsafat bisa menjadi pandangan hidup yang membahagiakan. Filsafat dimulai dengan pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan, lalu dilanjutkan dengan penggalian yang seru dan menegangkan. Jalan hidup filsafat adalah jalan hidup yang penuh dengan petualangan.

Dimulai dengan pertanyaan, dilanjutkan dengan penggalian, itulah kiranya cara hidup orang yang berfilsafat, apapun profesi resminya, bisa tukang sayur, tukang buah, manajer, direktur, guru, akuntan, dosen, atau apapun. Orang yang berfilsafat akan berpikir rasional. Ia tidak mudah percaya mistik, ataupun pendapat-pendapat umum yang menyesatkan dan menggelisahkan. Ia tidak terjebak pada gosip ataupun rumor yang berkeliaran.

Orang yang berfilsafat menyampaikan pemikirannya secara sistematis. Tulisan dan pembicaraannya mudah untuk dimengerti. Ia runtut dalam berpikir. Ia runtut di dalam membuat keputusan. Ia akan menjadi orang yang komunikatif dan terbuka. Ia akan menjadi pemimpin yang bijaksana.

Orang yang berfilsafat tidak pernah puas pada kedangkalan. Ia selalu mencari yang lebih dalam di balik segala sesuatu, apapun profesi hidupnya, entah itu manajer, akuntan, guru, tukang sayur, dan sebagainya. Ia akan menjadi seorang wirausahawan yang cemerlang. Ia akan menjadi manusia yang berkualitas.

Orang yang berfilsafat percaya akan proses. Mereka bertekun dalam hening dan kesulitan untuk mencapai hidup yang dewasa, apapun profesinya. Orang yang berfilsafat percaya, bahwa kebaikan adalah suatu proses yang lambat dan berliku. Di dalam proses tersebut, ia akan bahagia.

Beragam masalah di Indonesia tidak akan bisa selesai dengan pendekatan-pendekatan teknis, seperti pendekatan ekonomi teknis, pendekatan politik teknis, pendekatan teknologi teknis, ataupun pendekatan budaya teknis. Beragam masalah tersebut bisa selesai dengan sendirinya, jika setiap orang Indonesia mau berfilsafat, yakni menjadikan filsafat sebagai jalan hidup, apapun profesi sehari-hari mereka. Jalan hidup filsafat menawarkan pencerahan yang menggairahkan.

Berhasilkah Presiden SBY memimpin negeri ini?