Jumat, 17 September 2010

Atheisme Dalam Pandangan Fuerbach

Ateisme Feuerbach dimulai dengan kritiknya terhadap pemikiran Hegel. Di dalam filsafat sejarahnya, Hegel berpendapat bahwa manusia, dengan segala kesadaran serta kebebasannya, sebenarnya merupakan aktualisasi dari roh absolut. “Kita” demikian tulis Hegel, “seakan bertindak seturut kebebasan, tetapi dibelakangnya, roh absolut merealisasikan dirinya.”[1] Kesimpulannya, roh absolut adalah subyek sejarah yang sesungguhnya. Kebebasan dan kesadaran manusia hanyalah realisasi lebih jauh dari roh absolut tersebut. Tesis inilah yang menjadi obyek utama kritik Feuerbach. Hegel, menurutnya, telah memutarbalikan realitas. Manusia seakan-akan hanyalah robot, dan roh absolut adalah subyek sejarah sesungguhnya. Padahal, hemat Feuerbach, manusia adalah realitas konkret yang sama sekali tidak bisa dibantah keberadaannya. Yang ada adalah manusia, dan Allah merupakan buah dari pikiran manusia itu sendiri. Ia berpendapat bahwa refleksi filsafat haruslah bertolak dari satu-satu realitas yang tidak lagi dapat dipungkiri, yakni realitas inderawi, terutama realitas inderawi yang langsung mengungkapkan dirinya kepada kita. Pengandaian inilah yang menjadi titik tolak atheisme Feuerbach berikutnya. Allah tidaklah menciptakan manusia, tetapi sebaliknya, Allah adalah proyeksi dari cita-cita dan mimpi-mimpi manusia. Agama adalah sebuah proyeksi. Surga, neraka, agama, Allah adalah gambar-gambar yang tidak memiliki status ontologis pada dirinya sendiri, melainkan proyeksi manusia tentang hakekat dan mimpi-mimpinya sendiri. Semua itu adalah proyeksi manusia tentang hakekat keberadaannya. Agama adalah proyeksi dari hakekat manusia. Akan tetapi, manusia kemudian lupa akan fakta ini, dan justru menyembahnya seolah-olah semua benda itu memiliki status ontologisnya sendiri. Dengan kata lain, menurut Feuerbach, agama adalah hasil dari penyembahan manusia terhadap ciptaanya sendiri, yang tidak lagi disadari sebagai ciptaannya. Manusia kemudian takut dan merasa wajib untuk menyembah serta menghormati Allah ciptaannya itu. Manusia, dengan demikian, menolak hakekatnya sendiri. Dalam arti ini, agama adalah lambang keterasingan manusia dari diri dan hakekatnya sendiri.  “.. Agama Kristiani..” demikian tulis Feuerbach, “adalah sikap manusia terhadap dirinya sendiri, … terhadap hakekatnya sendiri… hakekat Allah adalah hakekat manusia…”[2] Dalam arti ini, agama sebenarnya memiliki nilai positif, karena ia merupakan proyeksi dari hakekat manusia. Akan tetapi, sayangnya, manusia lupa bahwa agama itu sebenarnya adalah proyeksi dari hakekatnya sendiri, dan kemudian menyembahnya. Ia pun tidak lagi berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan hakekatnya tersebut, tetapi takut padanya. Manusia tidak lagi mewujudkan hakekatnya, melainkan menyembah proyeksi dari hakekatnya tersebut, dan bersikap pasif. Oleh karena itu, agama seringkali membuat orang terasing dari dirinya sendiri, serta menjadi tidak toleran dan fanatik. Feuerbach sendiri berpendapat bahwa kepercayaan kepada Allah, yang terwujud dalam agama, dapat menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, kedewasaan, dan kebebasan manusia. Untuk itu, manusia hanya dapat mengakhiri keterasingan yang dialaminya dengan menghilangkan agama. Manusia harus menolak kepercayaan terhadap Allah yang mahakuasa, mahabaik, mahaadil, sehingga ia sendiri bisa menjadi kuasa, baik, dan adil. Dengan demikian, manusia harus meniadakan agama, supaya ia sendiri dapat mewujudkan hakekat dan potensi-potensinya.
(sumber rezaantonius.multiply.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berhasilkah Presiden SBY memimpin negeri ini?