Kamis, 09 September 2010

Atheisme Dalam Pandangan Albert Camus


Albert Camus menawarkan pemikiran tentang Tuhan dan agama dengan cara yang agak berbeda dari kedua filsuf yang sudah dijabarkan sebelumnya. Ia berpendapat bahwa hakekat dunia ini adalah absurditasnya. Artinya, dunia ini, beserta semua mahluk hidup di dalamnya, termasuk manusia, tidaklah masuk akal. Manusia merencanakan segalanya, tetapi ia harus mati, ketika rencananya tersebut belum terlesaikan. Penderitaan yang dialami manusia pun sungguh absurd, jika dibandingkan keindahan serta keluruhan dunia ini sebagai keseluruhan. Pengalaman manusia yang paling mendasar adalah pengalaman akan penderitaan. Banyak dari penderitaan tersebut disebabkan oleh sikap manusia sendiri. Kesadaran akan penderitaan membuat ia sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan ini adalah absurd. Akan tetapi, alih-alih melarikan diri, ia harus menghadapi kehidupan yang absurd tersebut dengan berjiwa besar, yakni dengan sikap heroik. Dengan kata lain, manusia harus menghadapi serta melawan dengan optimis absurditas hidup tersebut. Dalam konteks atheisme, absuditas hidup tersebut merupakan tanda bahwa Allah itu tidak ada. Jika Allah sungguh ada, maka tidak mungkin hidup ini absurd. Jika Allah ada, maka mesti ada penjelasan di balik semua penderitaan manusia, harusnya ada rasionalitas di baik irasionalitas yang dialami manusia. Padahal, penjelasan dan rasionalitas tersebut, hemat Camus, tidaklah ada. Oleh karena itu, tindak beriman kepada Allah sesungguhnya hanyalah merupakan pelarian dari penderitaan dan absurditas hidup saja. Dengan begitu, atheisme Camus merupakan akibat dari problem penderitaan dan kejahatan yang ada di dalam dunia.[4] Penderitaan yang dialami manusia adalah tanda bahwa hidup ini absurd, tidak masuk akal, serta penderitaan tersebut seringkali juga tidak dapat direkonsiliasikan ke dalam hidup manusia, dan justru menghancurkan manusia. Adanya penderitaan yang membuat hidup ini absurd jelas merupakan tanda definitif bahwa Allah itu tidak ada, bahwa tidak mungkin ada Allah yang menciptakan dan memperhatikan kita. Melihat penderitaan sebagai suatu rencana Allah merupakan suatu hal yang tidak dapat dianggap rasional, menurut Camus. Pada hemat saya, dan banyak penulis buku filsafat ketuhanan, problem ini adalah problem paling menantang di dalam atheisme. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan memandang penderitaan serta eksistensi Allah secara berbeda, di mana dalam penderitaan, manusia justru membuka dimensi terhadap yang transenden, ia membuka pintu bagi transendensi. Kendati mengalami penderitaan, manusia diharapkan, meskipun tidak selalu, tetap memiliki kepercayaan dan harapan kepada Allah. Eksistensi Allah tidaklah dapat dipahami sebagai entitas yang mengintervensi kehidupan manusia dan serta-merta mencegahnya mengalami penderitaan, melainkan sebagai sebuah kekuatan dengan kemahakuasaan dan belaskasihNya untuk membantu manusia memahami dan mengintegrasikan penderitaan dalam hidup ke dalam keseluruhan eksistensinya. Jawaban ini tentunya bersifat minimalis, tetapi bisa ditempatkan sebagai salah satu alternatif refleksi di dalam problematika Allah dan penderitaan. 

(sumber rezaantonius.multiply.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berhasilkah Presiden SBY memimpin negeri ini?