Sabtu, 25 September 2010

Konsep Filsafat Nietzsche

Filsafat Nietzsche terutama ditulis dalam bentuk aforisme dan tidak dilakukan dengan gaya metodis. Sikapnya secara umum tetap saja konsisten, tetapi pemikirannya secara terus menerus berkembang ke berbagai arah. Hal ini berarti bahwa Nietzsche seringkali tampak bertentangan dengan dirinya sendiri, atau membiarkan dirinya terbuka terhadap berbagai interpretasi yg saling bertentangan. Filsafatnya adalah sebuah filsafat yg memiliki wawasan yg berdaya tembus, dan bukan suatu sistem. Namun demikian, sejumlah kata dan konsep tertentu selalu muncul berulang-ulang di dalam karyanya. Oleh karena itu kita dapat mendeteksi adanya suatu sistem di dalam karyanya.

Will to Power

Ini merupakan konsep terpenting di dalam filsafat Nietzsche. Ia mengembangkan konsep ini dari dua sumber utama: Schopenhauer dan kehidupan Yunani kuno. Schopenhauer mengadopsinya dari gagasan timur dan berkesimpulan bahwa bahwa alam semesta dikendalikan oleh suatu kehendak buta. Nietzsche mengenali adanya kekuatan di dalam gagasan ini, dan menerapkannya dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Ketika Nietzsche sedang melakukan studi terhadap gagasan2 Yunani kuno, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yg menjadi pendorong di dalam peradaban mereka semata-mata adalah bagaimana mencari kekuasaan, dan bukan untuk mencari sesuatu yg lebih berguna atau yg memberikan manfaat segera.
Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh suatu Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power). Semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak ini. Seringkali kehendak untuk berkuasa ini di ubah dari ekspresinya yg semula, atau bahkan dialihkan ke bentuk lain, tapi tidak dapat dihindari semua itu selalu bermata air di tempat yg sama. Ajaran Kristen, Islam, Yahudi beragama mengkhotbahkan sesuatu yg tampaknya sangat bertentangan dengan Will to Power, melalui gagasan-gagasannya akan kerendahan hati, cinta antar saudara, dan kewelas asian. Tetapi, fakta yg sebenarnya memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran yg cerdik dari Will to Power. Ajaran Kristiani sendiri dan juga Islam, tentu saja adalah suatu agama yg dilahirkan di tengah2 perbudakan di zaman Romawi, dan sama sekali tak bisa membebaskan dirinya dari mentalitas budak. Ini tentu saja adalah suatu bentuk Will to Power dari para budak, dan bukan dari mereka yg memiliki kuasa.
Will to Power yg dicanangkan oleh Nietzsche terbukti merupakan suatu alat yg ampuh ketika di gunakan oleh Nietzsche untuk menganalisis motif umat manusia. Tindakan2 yg sebelumnya tampak mulia atau terhormat, kini tampak sebagai sesuatu yg dekaden bahkan memuakkan.
Namun demikian, Nietzsche gagal untuk memberikan jawaban bagi dua hal penting. Jika Will to Power merupakan satu2nya ukuran, lalu bagaimana halnya dengan tindakan2 yg sejak semula memang sama sekali tidak memiliki Will to Power di dalamnya? Ambilah sebagai contohnya kehidupan seorang santo atau seorang filsuf pertapa seperti Spinoza (filsuf yg dikagumi Nietzsche sendiri). Orang2 ini jelas2 berkeinginan untuk meredam “kehendak untuk berkuasa” dalam diri mereka. Mengatakan bahwa santo dan filsuf pertapa itu menerapkan Will to Power atas diri mereka sendiri jelas2 akan memperlakukan konsep ini sedemikian rupa luwesnya, hingga hampir bisa dikatakan bahwa konsep ini sama sekali tidak bermakna. Yg kedua, konsep Will to Power ternyata adalah sesuatu yg bersifat sirkular: apabila upaya kita untuk memahami segala sesuatunya di alam semesta ini adalah sebuah upaya yg diilhami oleh “kehendak untuk berkuasa”, maka tentunya konsep “kehendak untuk berkuasa” itu sendiri diilhami oleh upaya Nietzsche untuk memahami segala sesuatunya.
Lepas dari semua itu, sebagai kata akhir dari konsep yg memiliki daya tembus luar biasa tapi berbahaya ini, konsep itu seharusnya dikembalikan pada pernyataan Nietzsche sendiri, “Sikap mengidam-idamkan kekuasaan telah mengalami berbagai perubahan selama berabad-abad, tetapi sumbernya tetap saja kawah yg sama.. Sesuatu yg pada zaman dahulu dilakukan orang “demi Tuhan”, sekarang ini kita lakukan “demi uang”.. Inilah yg saat ini menciptakan kepuasan terutama atas kekuasaan.”

sumber rezaantonius.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berhasilkah Presiden SBY memimpin negeri ini?